SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA, BENTUK NEGARA DAN BANGUNAN NEGARA
Konten [Tampil]
A. Pengertian Sistem
Dalam bahasa awam, pengertian system
sering disamakan dengan cara yang akan ditempuh dalam mencapai suatu tujuan.
Menurut Carl J. friedrich system adalah suatu keseluruhan, terdiri dari
beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian maupun
hubungan fungsional terhadap keseluruhan. Sehingga hubungan itu menimbulkan
suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian
tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhannya itu. Dengan demikian
dalam bahasa ilmiah system adalah suatu tatanan/susunan yang berupa suatu
struktur yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang berkaitan
antara satu dengan lainnya secara teratur dan terencana untuk mencapai suatu
tujuan. Apabila salah satu dari komponen tersebut berfungsi melebih atau kurang
dari wewenangnya, maka akan mempengaruhi komponen yang lain.
Hamid S. Attamimi mengemukakan bahwa
dalam kata system pemerintahan, terdapat bagian-bagian dari pemerintahan yang
masing-masing mempunyai tugas dan fungsinya sendiri-sendiri namun secara
keseluruhan bagian-bagian itu merupakan satu kesatuan yang padu dan bekerja
sama secara rasional.dengan mencermati argumentasi semacam ini, maka pengertian
system akan selalu berkaitan dengan mekanisme dan cara kerja suatu lembaga,
institusi ataupun organ dalam mencapai suatu tujuan yang hendak dicapai.
B.
Pengertian Pemerintahan
Di lingkungan para ahli HukumTata
Negara, pemahaman mengenai pengertian pemerintahan masih belum ada kesepakatan
yang sama. Hal ini disebabkan adanya cara pandangyang berbeda dalam memberikan
arti dari pemerintahan. Ketidksepakatan ini merupakan hal yang lumrah di dalam
dunia akademik dan tidak perlu diperdebatkan. Kalau pemerintahan itu di ambil
dari kata pemerintah ( yang berakhiran “an” ), maka hal ini jelas akan
menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Sebagian ada yang menyamakan dengan
eksekutif, dan sebagian yang lain
menyamakan dengan Negara.
Perbedaan pendapat semacam tersebut
disebabkan oleh adanya ajaran trias politika yang membagi kekuasaan Negara
kedalam tiga kekuasaan utama, yaitu eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan
perundang-undangan ), legislatif ( kekuasaan untuk membentuk perundang-undangan
) dan Yudikatif ( kekuasaan untuk melakukan penegakan perundang-undangan atau
sering di sebut kekuasaan peradilan ).
Pemerintah dalam arti luas yakni
segala bentuk kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan Negara yang dilakukan
oleh organ-organ Negara yang mempunyai otoritas atau kewenangan untuk
memnjalankan kekuasaan. Sedangkan pengertian pemerintahan secara sempit tidak
lain adalah aktifitas atau kegiatan yang diselenggarakan oleh fungsi eksekutif
yang dalam hal ini dilaksanakan oleh presiden maupun perdana menteri sampai
dengan level birokrasi yang paling rendah tingkatannya.
Dengan demikian, jika pengertian
pemerintahan tersebut dikaitkan dengan
pengertian system, maka yang dimaksud dengan system pemerintahan adalah
: suatu tatanan/susunan pemerrintahan yang berupa suatu struktur yang terdiri
dari organ-organ pemegang kekuasaan di dalam Negara dan saling melakukan
hubungan fungsional diantara
organ-organ Negara tersebut baik secara vertical maupun horizontal untuk
mencapai suatu tujuan yang dikehendaki.
C.
Tiga Pengertian Sistem Pemerintahan Negara
Menurut dokrin Hukum Tata Negara
yang biasanya tertuang di dalam konstitusi system pemerintahan Negara dapat di
bagi kedalam 3 (tiga ) pengertian,yaitu :I
1.
system pemerintahan Negara dalam arti paling luas, yakni tatanan yang berupa
struktur dari suatu Negara dengan menitik beratkan pada hubungan antara Negara
dengan rakyat. Pengertian seperti ini akan menimbulkan model pemerintahan
monarkhi, aristokrasi dan demokrasi.
2.
system pemerintahan Negara dalam arti luas, yakni suatu tatanan atau struktur
pemerintahan Negara yang bertitik tolak dari hubungan antara semua organ
Negara, termasuk hubungan antara pemerintah pusat (Central Government) dengan bagian-bagian yang terdapat di dalam
Negara di tingkat local (Local
Government). Kajian system pemerintahan Negara dalam arti seperti ini
meliputi:
a.
Bangunan Negara kesatuan : Pemerintah pusat memegang otoritas penu
(berkedudukan lebih tinggi) ketimbang pemerintah local.
b.
Bangunan Negara Serikat (Federal) : Pemerintah pusat dan Negara bagian
mempunyai kedudukan yang sama.
c.
Bangunan Negara Konferederasi : Pemerintah Lokal (Kanton/wilayah) mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dari pemerintahan pusat.
3.
system pemerintahan Negara dalam arti sempit, yakni suatu tatanan atau struktur
pemerintahan yang bertitik tolak dari hubungan sebagian organ negaradi tingkat
pusat, khususnya hubungan antara eksekutif dan legislative. Struktur atau
tatanan pemerintahan Negara seperti ini. Akan menimbulkan model :
a.
Sistem parlementer : Parlemen (legislative) mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi ketimbang eksekutif, contoh Inggris, jepang, india.
b.
Sistem pemisahan kekuasaan (presidensiil) : Parlemen (legislative) dan
pemerintah mempunyai kedudukan yang sama dan saling melakukan control (check and balances). Contohnya AS.
c.
Sistem Pemerintahan dengan pengawasan langsung oleh rakyat : Pemerintah
(eksekutif) pada hakekatnya adalah Badan Pekerja dan Parlemen (Legislatif).
Dengan kata laineksekutifmerupakan bagian yang tak terpisahkan dari legislative
(parlemen) oleh karena itu parlemen tidak diberi kewenangan untuk melakukan
pengawasan kepada eksekutif. Sehingga yang berhak mengawasi parlemen dan
eksekutif adalah rakyat secara langsung. Contohnya Swiss.
D. Bentuk Negara
Sebagaiman dikemukakan oleh Leon
Duguit dan Jellinek, yakni menyangkut bentuk Negara Republik dan Monarkhi.
Intinya bentuk Negara itu berkisar pada pola penentuan kepala Negara dan pola
pengambilan keputusan yang dilakukan di dalam Negara tersebut. Dikatakan Negara
berbentuk republic, apabila mekanisme penentuan kepala negaranya dilakukan
melalui pemilihan (langsung atau melalui suatu majelis) dengan periodesasi masa
jabatan yang telah ditentukan.
Jikalau negaraitu dikatakan
berbentuk monarkhi apabila penentuan
kepala Negara dilakukan berdasarkan prinsip pewarisan alias turun temurun, dan
pengambilan keputusannya dilakukan tidak melalui suatu forum majelis yang
mempresentasikan kepentingan rakyat.
E. Bangunan Negara
Membahas mengenai bangunan Negara,
maka criteria yang harus kita pergunakan adalah menyangkut struktur atau
susunan Negara. Dalam hal ini titik pandang kita tertuju pada pembagian dan
hubungan kekuasaan antara Central
government (pemerintah pusat) dan Local
Government (pemerintah local).
Disebut bangunan Negara kesatuan
(unitaris), apabila hanya ada satu kekuasaan yang berwenang untuk membuat
undang-undang yang berlaku di Negara tersebut, yakni pemerintah pusat,
sedangkan local government hanya melaksanakan atau menyesuaikan dengan UU tersebut.
Sehubungan dengan hal ini, maka dikenal adanya dua model Negara kesatuan,
khususnya bila ditinjau dari asas penyelenggaraan pemerintahannya, yaitu :
1.
Negara kesatuan dengan asas sentralisasi .
2.
Negara kesatuan dengan asas desentralisasi.
Bangunan Negara serikat (federalis).
Disebut demikian, apabila antara pemerintah pusat (Pemerintah Federal) dengan
pemerintah Negara bagian mempunyai wewenang yang sama dalam membentuk UU.
Sedangkan disebut bangunan Negara
sebagai serikat Negara-negara (konfederalis) adalah apabila Negara terdiri dari
gabungan beberapa Negara yang sejak semula berdaulat yang bergabung untuk
melaksanakan fungsi-fungsi tertentu.
F. Organisai Dari Sistem
Pemerintahan Negara
1.
Organisasi Pemerintahan Dalam Garis Horizontal
Sebagaimana telah disinggung dalam
pelajaran ilmu Negara bahwa menurut konsep Trias Politika kekuasaan di dalam
Negara dapat dibagi menjadi 3 cabang kekuasaan utama, yaitu :
a.
kekuasaan Legislatif, yakni kekuasaan untuk membentuk undang-undang.
b.
Kekuasaan eksekutif, yakni kekuasaan untuk menjalankan undang-undang .
c.
kekuasaan Yudikatif, yakni kekuasaan untuk melaksanakan peradilan.
Ketiga cabang kekuasaan Negara ini
dipegang oleh lembaga/badan kenegaraan yang memegang kekuasaan eksekutif dan
legislative. Pada hakikatnya terpisah secara tegas dan tidak bias saling
mempengaruhi. Sedangkan jika system pemerintahannya adalah system parlementer.
Maka badan kenegaraan yang memegang kekuasaan eksekutif dan legislative dapat
saling berhubungan dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya.
Dengan demikian konsep
pengorganisasian pemerintahan dalam garis horizontal pada hakikatnya merupakan
implementasi dari konsep trias politika yang dilandasi oleh adanya reaksi
terhadap organisai pemerintahan yang absolute-diktatorik yang pada umumnya
terjadi dalam Negara yang berbentuk monarkhi.
2.
Organisasi Pemerintahan Dalam Garis Vertikal.
Membahas organisasi system
pemerintahan dalam garis vertical pada intinya bertitik tolak dari bangunan
Negara, khususnya bangunan Negara serikat dan bangunan Negara kesatuan.
Sedangkan di Negara kesatuan, khususnya yang mempergunakan asas desentralisasi
dikenal. Adanya pemerintah daerah yang berwenang untuk menyelenggarakan
pemerintah sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat di masing-masing daerah (otonomi). Menurut UU
No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Desantralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan kepada daerah otonom dalam ikatan Negara kesatuan RI.
Menurut Kranenburg kedua satuan
pemerintahan yang lebih rendah di bawah pemerintah pusat baik yang terdapat di
Negara keasatuan maupun serikat masing-masing mempunyai cirri-ciri yang berbeda
antara satu dengan yang lain berdasarkan hukum positif, yaitu :
a.
Negara bagian yang terdapat di dalam Negara serikat memiliki “Pauvoir
Constituent”, yakni wewenang untuk membentuk undang-undang dasar sendiri serta
mempunyai wewenang untuk membentuk organisasi sendiri dalam rangka dan
batas-batas konstitusi federal.
b.
Dalam Negara federal (serikat), wewenang membentuk undang-undang pusat untuk
hal-hal tertentu telah diperinci satu persatu dalam konstitusi federal.
Menurut Hukum tata Negara Indonesia
sebagaimana ditegaskan dalam undang-undang No. 22 tahun 1999- wewenang
pembentukan peraturan perudang-undangan tingkat daerah ( peraturan daerah
maupun keputusan kepala daerah) ditentukan oleh wewenang pemerintahan yang
telah diserahkan kepada masing-masing tingkat daerah (propinsi,
kabupaten/kota). Hal ini Nampak jelas di dalam pasal 7 undang-undang No. 22
tahun 1999 yang pada intinya menegaskan bahwa “wewenag daerah adalah seluruh
wewenang pemerintahan kecuali politik luar negeri, peradilan, pertahanan dan
keamanan, moneter, dan fiscal, peradilan, agama serta kewenangan lainnya yang
diatur dengan undang-undang.
G. Bentuk Pemerintahan dan Sistem
Pemerintahan.
Ada 3 macam system pemerintahan,
yaitu :
1.
Sistem pemerintahan Parlementer (Parliementary
Executive)
Pada
prinsipnya system pemerintahan parlementer menitik beratkan pada hubungan
antara organ Negara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislative. System ini
merupakan sisa-sisa peninggalan system pemerintahan dalam arti paling luas,
yakni morankhi. Dikatakan demikian karena kepala Negara apapun sebutanya
mempunyai kedudukan yang tidak dapat diganggu gugat. Sedangkan penyelenggara
pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada menteri.
Menurut Arend Lijphart perkembangan
system parelementer ini pada umumnya melalui tiga fase. Pada awalnya
pemerintahan dipimpin oleh seorang raja yang bertanggung jawab atas seluruh
system politik atau system kenegaraan. Kemudian muncul sebuah majelis dengan
anggota yang menentang hegemoni raja. Terakhir, majelis mengambil alih tanggung
jawab atas pemerintahan dengan bertindak sebagai parlemen maka raja kehilangan
sebagian besar kekuasaan tradidionilnya.
Ciri-ciri system pemerintahan ini,
pada umumnya dapat digambarkan sebagai berikut :
a.
Terdapat hubungan yang erat antara eksekutif dan legislative (parlementer),
bahkan antara keduanya saling tergantung satu dengan yang lainnya.
b.
Eksekutif yang dipimpin oleh perdana menteri dibentuk oleh parlemen dari partai
politik/organisasi peserta pemilu yang menduduki kursi mayoritas di parlemen.
c.
Kepala Negara (apapun sebutannya) hanya berfungsi ataupun berkedudukan sebagai
kepala Negara saja.
d.
Dikenal adanya mekanisme pertanggung jawaban menteri kepada perlemen.
2.
Sistem Pemerintahan Presidensiil (Fixed
Exexutive).
Sistem pemerintahan ini bertitik
tolak dari kosep pemisahan kekuasaan sebagaimana dianjurkan oleh teori trias
politika. System ini menghendaki adanya pemisahan kekuasaan secara tegas,
khususnya antara badan pemegang kekuasaan legislative.
Ciri-ciri
utama dari system pemerintahan ini adalah :
a.
Kedudukan kepala Negara (presiden) di samping sebagai kepala Negara juga
sebagai kepala eksekutif (pemerintahan).
b.
Presiden dan parlemen masing-masing dipilih langsung oleh rakyat melalui
pemilihan umum.
c.
Karena presiden dan parlemen dipilih
langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, maka kedudukan antara kedua
lembaga ini tidak bias saling mempengaruhi (menjatuhkan).
d.
Kendati presiden tidak dapat diberhentikan oleh parlemen ditengah-tengah masa
jabatannya berlangsung.
e.
Dalam rangka menyusun cabinet (menteri), presiden wajib minta persetujuan
parlemen.
f.
Menteri-menteri yang diangkat oleh presiden tersebut tunduk dan bertanggung
jawab kepada presiden.
3.
Sistem Pemerintahan dengan Pengawasan Langsung Oleh Rakyat.
Sistem pemerintahan ini sering
disebut juga system badan pekerja dan dipergunakan di Negara konfederasi swiss.
Menurut konstitusi federal konfederasi Swiss dinyatakan antara lain :
a.
pemegang kedaulatan tertinggi di Negara konfederasi swiss adalah sidang federal
yang terdiri dari dewan nasional dan dewan Negara.
b.
pemegang kekuasaan eksekutif dan badan pelaksana kekuasaan tertinggi
konfederasi swiss dipegang oleh dewan federal, yang terdiri dari tujuh anggota
dan dipilih oleh sidang federal.
c.
presiden dan wakil presiden konfederasi swiss dipilih oleh sidang federal,
diantara para anggota dewan untuk masa jabatan satu tahun.
Memperhatikan konstruksi
ketatanegaraan tersebut, maka tidaklah mungkin apabila siding federal (pemegang
kekusaan eksekutif) saling melakukan control seperti halnya dalam system
pemerintahan parlementer. Hal ini mengingat dewan federal pada hakikatnya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sidang federal. Bahkan dapat
dikatakan bahwa dewan federal hanyalah merupakan badan pekerja dari sidang
federal.
Cara
yang dapat ditempuh oleh rakyat konferedasi Swiss untuk melakukan control
terhadap jalannya pemerintahan adalah dengan melalui :
a. Referendum, yaitu suatu kegiatan
politik dilakukan oleh rakyat untuk memberikan keputusan setuju atau menolak
terhadap kebijaksanaan yang dimintakan persetujuan kepada rakyat. Referendum
ini terdiri dari 3 macam, yaitu :
1.
referendum obligator (wajib), yaitu meminta pendapat secara langsung terhadap
suatu rancangan undang-undang yang akan diundangkan.
2.
referendum fakultatif (tidak wajib), yaitu meminta pendapat secara langsung
kepada rakyat tentang setuju atau tidaknya terhadap undang-undang yang sudah
berlaku, tetapi ada sementara rakyat yang menggugatnya.
3.
referendum optatif, yaitu meminta pendapat secara langsung kepada rakyat
tentang setuju atau tidaknya terhadap rancangan undang-undang pemerintah
federal atau pemerintah pusat.
b. Usul Inisiatif Rakyat, yaitu hak rakyat
untuk mengajukan suatu rancangan undang-undang kepada parlemen dan pemerintah.
Bentuk-bentuk system pemerintahan
tersebut pada hakikatnya dipergunakan untuk menampung se-ideal mungkin prinsip
demokrasi dan kedaulatan rakyat.
“ Dalam pemerintahan parlementer, kepala
pemerintahan yang bias dijabat oleh perdana menteri, Presiden dan lainnya
tergantung pada mosi atau kepercayaan badan legislative dan dapat turun dari
jabatannya melalui mosi tidak percaya dari legislative : daam pemerintahan
presidensil , kepala pemerintahan hampir selalu disebut presiden – dipilih
untuk masa jabatan yang di tentukan oleh UUD dan dalam keadaan normal tidak
dapat dipaksa untuk mengundurkan diri oleh badan legislative ( meskipun
terdapat kemungkinan untuk memecat seseorang presiden dengan proses pendakwaan
luar biasa ).
Memperhatikan
argumentasi tersebut di atas, maka Nampak jelas bahwa ditinjau dari aspek
akunbilitas pemerintah, maka memang system parlementer bias di anggap lebih
demokratis ketimbang system presidensil.
H.
Demokrasi Dan Sistem Pemerintahan Negara
Dari
sudut pandang etimologi demokrasi berasal dari kata “ demos “ (rakyat ) dan
“Cratein” (memerintah). Jadi secara harfiah kata demokrasi dapat di artikan
sebagai rakyat memerintah.
Menurut Aristoteles, sebagaimana dikutif oleh CF.
Strong dalam buku yang berjudul “Modern Political Constituton”. Dikatan bahwa
demokrasi itu termasuk bentuk pemerosotan. Pendapat semacam ini terasa
mengejutkan, mengingat di era sekarang paham demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan laksana “primadona” yang memancarkan pesona bagi setiap bangssa
untuk meraihnya.menurut Polybios dalam Cyclus Theory dikemukakan bahwa
demokrasi merupakan bentuk system pemerintahan yang paling akhir kemunculannya
setelah monarkhi dan Aristocry.
Maurice
Duverger pada intinya mengatakan bahwa kalau arti kata yang di pahami secara
awam,maka demokrasi yang sesungguhnya tidak pernah ada, sebab hal ini adalah
pertentangan dengan kodrat alam dan sangat utopis mengingat tidak mungkin
segolongan orang yang berjumlah sedikit diperintah. Sedangkan Schumpeter
mengemukakan apa yang dinamakan “teori lain mengenai demokrasi” mencapai
keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan
kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat.
Di
Negara Modern cara untuk melaksanakan demokrasi sebagaimana pernah dilakukan
pada zaman Yunani Kuno jelas tidak mungkin lagi dapat terselenggara dengan
baik. Hal ini antara lain di sebabkan :
1. Jumlah
penduduk Negara dewasa ini sudah sedemikian besarnya.ini mengakibatkan
pelaksanaan demokrasi secara langsung justru akanmenyulitkan dalam pengambilan
keputusan. Perlu diketahui bahwa pada umumnya pengambilan keputusan. Perlu
diketahui bahwa pada umumnya pengambilan keputusan dengan jumlah peserta yang
demikian besar sulit untuk dilakukan bila
dibangdingkan dengan pengambilan keputusan dengan jumlah peserta yang
relative sedikit.
2. Masalh
ketatanegaraan di Negara-negara modern dewasa ini sudah sedemikian kompleks.
Sehingga tidaklah mungkin dalam setiap penyelesaian masalah tersebut selalu
melibatkan rakyat langsung melalui suatu forum pertemuan yang bersifat kolosal.
3. Pelaksanaan
demokrasi langsung memerlukan dana relative besar.
4. Ditinjau
dari aspek teknis, bagi Negara yang letak geografisnya terdiri dari pulau-pulau
seperti Indonesia.
ZAMAN
YUNANI KUNO
a. Demokrasi
dilaksanakan secara langsung.
b. Hak
untuk berdemokrasi terbatas untuk segolongan warganegara, terutama kaum
bangsawan. Sedangkan bagi golongan pendatang, budak dan kaum wanita tidak
mempunyai hak untuk berdemokrasi.
c. Untuk
melakukan demokrasi rakyat yang mempunyai hak untuk itudikumpulkan dalam suatu
arena seperti stadion,dan mereka bebas untuk menyampaikan berbagai pendapat.
ABAD PERTENGAHAN
a. Disebut
juga abad kegelapa. Karena setiap argumentasidan pendapat manusia harus bias
dikembalikan pada hal-hal yang bersifat supranatural dan iraasional.
b. Peran
gereja sebagai lembaga aama dibawah kepimimpinan paus sangat besar.bahkan
gereja membawahkan Negara.hal ini merupakan konsekuensi dari munculnya paham
kedaulatan tuhan yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh seorang paus ( pemimpin
tertinggi agama Katolik ) sebagai wakil tuhan yang ada didunia ini.
c. Dengan
pola seperti ini maka, demokrasi mengalami degradasi.artinya rakyat kebanyakan
tidak lagi mempunyai posisi yang menentukan dalam aktifitas kehidupan
kenegaraan.
d. Banyak
terjadi perebutan kekuasaan di kalangan bangsawan untuk mempengaruhi raja
ataupun paus
e. Muncul
konsep demokrasi melalui Magma charta, yakni kontrak perjanjian antara beberapa
bangsawan dan Raja John dari Inggris, yang antara lain menghendaki agar raja
mengikat diri dan mengakui serta menjamin hak-hak dan privileges dari para
bangsawan. Piagam ini tidak berlaku bagi rakyat kebanyakan.
RENAISSANCE
a. Renaissance
pada hakikatnya adalah suatu ajaran yang berusaha untuk menghidupkan kembali
kesusastraan dan kebudayaan pada zaman Romawi dan Yunani yang telah tersingkir
pada abad pertengahan.
b. Dengan
adanya ajaran tersebut, maka mmerangsang munculnya paham rasionalitas, yakni
suatu paham yang lebih mementingkan kebebasan manusia untuk menyampaikan
pemikiran-pemikiran yang rasional. Hal ini kemudian menimbulkan gagasan :
1. Urusan
agama (gereja ) dengan urusan Negara harus ulai dipisahkan.
2. Meluasnya
gagasan-gagasan di bidang politik ketatanegaraan.
3.
Paham
nasionalitas harus diterapkan dengan mempergunakan teori social contract.tori
ini dilandasi oleh asumsi bahwa dunia itu dikuasai oleh hokum yang timbul dari
alam (nature) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan universal,artinya berlaku untuk semua waktu dan semua orang.
DEMOKRASI
KONSTITUSIONAL ABAD XIX DAN NEGARA HUKUM
a. Untuk
menyelengarakan hak-hak politik rakyat, maka perlu di adakan pembatasan kekuasaan pemerintah
dengan suatu konstitusi. Konstitusi tersebut baik yang bersifat naskah (written
constitution) atupun yang tidak bersifat naskah (unwritten constitution).
b. Konstitusi
tersebut menjamin hak-hak politik rakyat dan menyelengarakan pembagian
kekuasaan Negara sedemikian rupa. Sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh
kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hokum. Pola yang demikian inilah yang
disebut konstitutionalisme.
c. Menurut
Carl J.Friedrich,konstitusionalisme adalah gagasan yang menganggap bahwa
pemerintah merupakan suatu kumpulan aktifitas yang di selenggarakan atas nama
rakyat,tetapi tunduk kepada beberapa pembatasanyang di maksud untuk memberikan
jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalah
gunakan oleh mereka yang memerintah.
d. Menurut
ajaran constitutionalisme fungsi UUD atau konstitusi adalah :
1. Menentukan
dan membatasi kekuasaan pemerintah ;
2. Menjamin
hak-hak asasi warganegara.
e. Ajaran
konstitutionalisme ini menimbulkan rechtsstaat di Eropa Barat dan Rule Of Law
di Negara-negara Anglo-saxon.
Unsure-unsur rechtsstaat (klasik)
adalah :
1. Jaminan
hak-hak asasi manusia ;
2. Pemisahan/pembagian
kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia;
3. Pemerintahan
berdasarkan peraturan (wetmatigheid van bestuur);
4. Peradilan
administrasi untuk menyelesaikan perselisihan.
Sedangkan unsur-unsur
Rule Of Law (klasik) adalah :
1. Supremasi
aturan-aturan hokum (supremacy of law ); tidak ada kekuasaan sewenang-wenang dan
seseorang hanya akan di hokum kalau ia melanggar hokum.
2. Kedudukan
yang sama di bidang hukum (equality before the law ).
3. Terjaminnya
hak-hak asasi manusia.
DEMOKRASI
KONSTITUSIONAL ABAD XX DAN RULE OF LAW YANG DINAMIS
a. Munculnya
konsep negara kesejahteraan (welfare
state) . Fungsi negara adalah memberikan
pelayanan kepada masyarakat ( social
services state) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum warga negara .
b. Syarat-syarat
untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law,
adalah :
1. Perlindungan
konstitusional, artinya konstitusi
selain menjamin hak-hak individu juga harus menentukan pula cara
prosedural untuk memperoleh perlindungan
atas hak-hak yang dijamin ;
2. Badan
kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3. Kebebasan
untuk menyatakan pendapat;
4. Pendidikan
kewarganegaraan ( civic education).
c. Demokrasi
adalah suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat
keputusan-keputusan politik
diselenggarakan melalui wakil-wakil yang
dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas .
1.
Sistem
Pemerintahan Negara Indonesia
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia-setelah Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945- Indonesia pernah menggunakan beberapa kostitusi tertulis selain UUD 1945 . Masing-masing konstitusi
tertulis tersebut mengatur mengenai sistem pemerintahan Negara Indonesia yang
berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya .
Sistem
Pemerintahan Indonesia Menurut Konstitusi RIS
Sistem Pemerintahan
Indonesia menurut Konstitusi RIS adalah sistem Pemerintahan Parlementer yang
tidak murni. Pasal 118 Konstitusi RIS antara lain menyebutkan :
a. Presiden
tidak dapat diganggu gugat;
b. Mentri-mentri
bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk
seluruhnya,maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri .
Sistem
Pemerintahan Indonesia Menurut UUDS 1950
UUDS 1950 masih tetap dipergunakan
bentuk sistem pemerintahan seperti yang diatur dalam Konstitusi RIS . Pendek
kata dalam hal sistem pemerintahan negara ,UUDS 1950 masih melanjutkan seperti
yang di atur di dalam Konstitusi RIS . Hal ini disebabkan UUDS 1950 pada hakekatnya merupakan hasil
amandemen dari Konstitusi RIS dengan menghilangkan pasal-pasal yang bersifat
federalis . Didalam pasal 83 UUDS 1950 dinyatakan :
a. Presiden
dan wakil presiden tidak dapat diganggu
gugat;
b. Mentri-mentri
bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk
seluruhnya,maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri .
Berkaitan dengan pasal
tersebut,Pasal 84 UUDS 1950 menyatakan bahwa presiden berhak membubarkan DPR . Keputusan Presiden yang menyatakan
pembubaran itu memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan DPR baru dalam 30
hari .
Sistem
Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 ( Sebelum dan Sesudah Amandemen)
a.
Sebelum
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
Di dalam sistematika UUD 1945,sistem
Pemerintahan Negara secara implisit
tertuang didalamnya. Dalam penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa Dewan tidak
dapat dibubarkan oleh presiden . Presiden Republik Indonesia adalah Kepala
Ekslusif dan tidak boleh. merangkap menjadi anggota DPR dan Makamah
Agung,apalagi menjadi pimpinan MPR Mentri-mentri diangkat dan diberhentikan oleh presiden . Konstitusi
semacam ini memperlihatkan kecenderungan ke arah sistem Presidensil .
Akan tetapi presiden tidak dipilih oleh
rakyat secara langsung,melainkan oleh MPR dan dapat diberhentikan sebelum masa
jabatannya habis oleh MPR jika melanggar UUD 1945 dan Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN),maka menunjukan sistem presidensil yang dianut oleh UUD 1945
bukan sistem presidensil yang murni .
Berikut Karakteristik Sistem
Predensil Amerika Serikat :
a. Legislatif,eksekutif
dan judikatif merupakan lembaga yang terpisah .
b. Dalam
bidang Legislatif ,berwenang membuat suatu Undang-Undang.
c. Kekuasaan
ekskutif berada ditangan presiden,dan dalam pelaksanaannya dibantu oleh para
mentri yang bertanggung jawab kepada presiden .
d. Apabila
ada perbedaan pendapat antara Presiden dengan Congress(utama senate),Presiden
sebagai kepala ekskutif tidak dapat dijatuhkan oleh Congress .
e. Badan-badan
peradilan bebas pengaruh apapun.
Berdasarkan
karakteristiksistem presidensil di AS tersebut ,maka dapat menarik garis lurus
kesamaan dengan yang ada di Indonesia ,sebagaimana dikonstruksikan di dalam UUD
1945.Hal ini nampak dari ketentuan-ketentuan didalam UUD 1945 berikut :
a. Pasal 4 ayat (1) : Presiden RI memegang kekuasaan
pemerintahan .
b. Pasa
l 17 ayat (1) dan (2) :Presiden dibantu
oleh mentri-mentri negara .
c. Pasal
5 ayat (1) : Presiden memegang kekuasaan
membentuk Undang – Undang dengan
persetujuan DPR .
d. Pasal
21 ayat (1) : Anggota –anggota DPR berhak mengajukan Rancangan UU .
e. Pasal
21 ayat (2) : Jika rancangan itu meskipun tidak d setujui oleh DPR ,tidak disahkan oleh Presiden ,maka
rancangan itu tidak boleh dimajukan pada persidangan masa itu .
Pemerintah tidak mempergunakan pola pemilihan langsung
sebagaimana dilakukan di AS . Lain
daripada itu ,didalam Penjelasan Umum UUD 1945 juga dinyatakan bahwa Presiden dalam melaksanakan pemerintahan negara
tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis .
Berkaitan dengan ketentuan mengenai
eksistensi MPR tersebut ,maka dapat dikemukakan disini bahwa menurut konstruksi
UUD 1945 ,MPR dianggap merupakan “Penjelmaan rakyat” . Menurut Bintan R.Saragih
dan Kusnardi ,kata”penjelmaan rakyat” yang ditujukan kepada eksistensi MPR
tersebut dapat ditafsirkan dalam dua arti,yaitu “identik dengan rakyat” dan di
pihak dapat ditafsirkan hanya sebagai “lembaga perwakilan”.
Penjelmaan rakyat ditafsirkan hanya sebatas
sebagai lembaga perwakilan maka dalam melaksanakan seluruh aktifitasnya. MPR
harus tetap melaksanakan pertanggung jawaban kepada rakyat yang diwakili.
Bahkan ada kemungkinan apa yang menjadi kehendak rakyat berbeda dengan apa yang
menjadi kehendak MPR.
Dalam praktek penyelenggaraan negara,
nampak jelas sekali bahwa kedua penafsiran tersebut diatas lebih condong ke
arah penegasan jikalau MPR sebagai penjelmaan Rakyat itu hanya sebatas sebagai
fungsinya sebagai lembaga perwakilan.
Dengan melandaskan pada hakekat MPR
sebagai penjelmaan Rakyat Padmo Wahjono berpendapat bahwa sistem pemerintahan
Indonesia adalah bukan presidensiil dan bukan parlementer. Melaikan sistem
Majelis. Sistem semacam ini menurut Padmo Wahjono mempergunakan mekanisme sebagai
berikut :
"Majelis
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara,
mendistribusikan/mendelegasikan kekuasaannya Nevada lembaga lembaga kenegaraan
yang ada. Lembaga lembaga negara ini masing masing akan mempertanggung jawabkan
kekuasaan yang telah di terima itu kepada MPR. Adapun pendelegasian tersebut
adalah
1.
Kekuasaan untukmelaksanakan kedaulatan sehari hari didelegasikan kepada DPR :
2.
Kekuasaan untuk melaksanakan pemerintahan di delegasikan kepada presiden yang
di bantu oleh wakil presiden dan para
menteri
3.
Kekuasaan untuk memeriksa keuangan negara kepda BPK
4.
Kekuasaan untuk memberikan pertimbangan atau konsultatif kepada DPA
5.
Kekuasaan unuk melaksanakan peradilan kepada Mahkamah Agung.
Jika kita mencermati ketentuan Bab V Kaidah
Pelaksanaan angka 3 Tap MPR No. IV /MPR/ 1999 tentang Garis garis Besar Hukum
Negara yangmenyatakan bahwa "Semua lembaga tinggi negara berkewajiban
menyampaikan laporan pelaksanaan garis garis Besar Haluan Negara dalam sidang
Tahunan Majelis Permusyawaran Rakyat sesuai dengan fungsi, tugas dan
wewenangnya berdasarkan Undang Undang dasar 1945" maka pola sistem
permerintahan sebagaimana di kemukakan oleh Padmo Wahjono ini, nampaknya
cenderung di laksanakan oleh MPR melalui sidang Tahunan tersebut.
B. Setelah
Amandemen Undamg Undang Dasar 1945
Gerakan Rwformasi yang dipelopori oleh
mahasiswa Indonesia mencapai puncak dengan mundurnya Prwsiden Soeharato dari
tampuk kepemimpinan nasional pada tanggal 20 Mei 1998.
Gerakan Reformasi yang dikumandangkan oleh
mahasiswa Indonesia tersebut, sejatinya bukanlah merupakan gerakan yang berdiri
sendiri. Gerakan ini pada hakekatnya
merupakan imbas dari gerakan gerakan demokrasi yang berkembang di senelah dunia
lain yang oleh Samuel P.Huntington dikatakan senagai efek "Bola
Salju". Berkaitandl dengan hal inilah. Samuel P.Huntington mengemukakan
bahwa proses demokratisasi pada umumnya melalui tiga periode, yakni periode
pengakhiran rezim nondemokrasi, pengukuhan rezim demokrasi, dan kemudian
pengkonsolidasian sistem yang demokrasi.
ketiga periode yang dimaksud adalah :
1.
Pengakhiran rezim nondemokratis, yakni ditandai dengan tumbangnya kekuasaan
presiden Soeharyo sebagai akibat ketidakmampuan dalam mempertahankan legitimasi
dihadapan masyarakan dan mahasiswa.
2. Pengukuhan
rezim demokratis yang di tandai dengan dilaksanakannya pemilu tahun 1999 dengan
sistem multi partai. Dalam pemilu ini telah di hasilkan DPR dan MPR dengan komposisi yang relatif heterogen
dan tidak ada satupun partai politik yang menduduki kursi mayoritas di kedua
lembaga tersebut. Dalam periode ini pula telah terpilih presiden dan wakil
presiden yang memang sejak semula dianggap demokratis dan populis, yakni
Abdurrahman "Gus Dur" Wahid, sebagai presidwn dan Megawati Soekarno
Putei sebagai Wakil Presiden.
3. Periode
konsolidasi sistem demokratis di tandai dengan adanya pembenahan strktur
ketatanegaraan Indonesia, misalnya dengan dibentuknya paket UU di bidang
Politik, UU. NO. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan yang paling
penting adalah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 oleh MPR melalui
Panitia Ad Hoc I MPR-RI. Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa proses
Amandwmen UUD 1945 merupakan sarana untuk melaksanakan konsolidasi sistem
domokrasi.
Didalam Amndemen UUD 1945 tersebut, antara
lain ditegaskan bahwa sistem pemerintahan presidensiil akan tetap dipertahankan
dan bahkan diperkuat melalui mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden
secara langsung.
Namun dalam praktek penyelenggaraan ketatanegaraan
indonesia, sisten presidensil ini masih tetap belum dilaksanakan secara murni.
Hal ini nampak jelas tertuang didalam Tap MPR No. VI/MPR/1999 tentang Tata Cara
Pencalonan dan Pemilihan Presidan dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Di
dalam Pasal 8 antara lain dinyatakan :
(1) Fraksi
dapat mengajukan seorang Calon Presiden
(2) Calon
Presiden dapat juga diajukan oleh sekurang-kurangnya tujuh puluh orang anggota
Majelis yang berdiri atas satu fraksi atau lebih.
(3) Masing-masing
anggota majelis hanya boleh menggunakan salah satu cara pengajuan Calon
Presiden sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) dan (2) pasal ini.
Memperhatikan ketentuan seperti
ini, maka nampak jelas bahwa pemilihan Presiden tidak dilakukan secara
langsung, melainkan masih merupakan wewenang dari MPR melalui pengusulan oleh anggota
MPR maupun Fraksi (sebagai perpanjangan dari Parpol Peserta Pemilu). Ini
berarti dalam hal rekruitmen kepala pemerintah masih tetap mempergunakan pola
sistem parlementer.
Berdasarkan sidang tahunan MPR tahun 2002, maka
didalam Amandemen IV UUD 1945 ditegaskan bahwa Presiden dan Wk. Presiden akan
dipilih secara langsung oleh rakyat. Dia tidak bertanggung jawab kepada Majelis
yang berdiri dari dua kamar, yakni Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah. Konstruksi semacam ini telah menghentikan konflik ketatanegaraan yang
selama ini mewarnai sistem Pemerintahan di indonesia. Di dalam Pasal 6A UUD
1945 antara lain ditegaskan :
(1) Presiden
dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara lebih dari lima puluh
persen dari jumlah suara pemilihan dengan sedikitnya dua puluh persen suara
disetiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di
indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Dalam
hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan
calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum
dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara
terbanyak dilantik sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden.
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden lebih lanjut diatur dengan undang-undang.
Maka
Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat, melainkan merekaq ini bertanggung jawab secara langsung
kepada rakyat. Berkaitan dengan hal ini, Pasal 3 ayat (3) Amandemen UUD
1945menegaskan bahwa ‘’Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat
memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
Undang-Undang Dasar”. Menurut Pasal 7A
UUD 1945, penberhentian presiden dan wakil presiden ini atas usulv Dewan
Perwakilan Rakyat apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum yang berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk
mengusulkan pemberhentian presiden dan wakil presiden,maka Dewan Perwakilan
Rakyat terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan diamandemen, Perwakilan Rakyat
tentang adanya indikasi perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Berdasarkan
mekanisme penanggungjawaban tersebut diatas, maka setelah UUD 1945, terdapat
perubahan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia yang cukup fundamental.
Perubahan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:
a. Sistem
pemerintahan negara mempergunakan sistem presidensiil Murni.
b. Presiden
dan/atau Wakil Presiden serta Parlemen yang terdiri dari dua kamar dipilih
langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum
c. Dibidang
politik, kedudukan Presiden dan Wakil Presiden serta Parlemen sama-sama kuat.
Artinya antara kedua lembaga ini tidak bisa saling menjatuhkan.
d. Dikenal
adanya lembaga konstitusi, yakni Mahkamah Konstitusi yang mempunyai wewenang
untuk melakukan impeachment kepada
Presiden dan Wakil Presiden,jikalau ditengarai telah melakukan pelanggaran
hukum berat. Hal ini berarti Presiden dan atau Wakil Presiden hanya dapat
dijatuhkan,jikalau melakukan berbuatan yang berkaitan dengan hal-hal yang
bersifat yuridis.
e. Pertanggung
jawaban yang dibebankan kepada presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Parlemen
harus diawali dengan adanya pertanggung jawaban hukum(yuridis). Sedangkan untuk
pertanggung jawaban politis merupakan konsekuensi logis, jikalau presiden dan
wakil presiden telah melaksanakan pertanggungjawaban hukum tersebut. Hal ini
berarti telah mengubah paradigma yang selama ini mewarnai sistem
pertanggungjawaban presiden dan wakil presiden kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Dalam paradigma lama, pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil
Presiden lebih menekankan pada pertanggung jawaban politis.
sumber Buku
Post a Comment for "SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA, BENTUK NEGARA DAN BANGUNAN NEGARA"
Salam perkenalan